Tuesday 16 December 2014

Kita Akan Kembali Bertemu

           

         “Pemandangan hari ini sangat indah ya,” senyumku sambil menatap cakrawala di pagi hari. Langit terlihat begitu cerah dan matahari serta awan putih seperti tidak mau ketinggalan untuk ikut serta dalam meramaikan suasana pagi ini. Beberapa mobil yang tampak macet di jalanan juga turut berebut untuk sekadar menyaksikan sebuah perhelatan akbar manusia-manusia terpilih. Hari ini, orang-orang yang dipersiapkan untuk menjadi ksatria-kastria tanah air telah mencapai titik nadir mereka. Sebuah puncak kebahagiaan atas segala peluh, pikiran yang terkuras untuk mengisi ruang ilmu di setiap saraf otak, dan hati yang telah memuliakan waktu tuk sekadar menjadi orang yang bermanfaat untuk masyarakat baik disadari maupun tidak disadari oleh mereka. Termasuk aku, yang juga menjadi salah satu di antara mereka yang mendapatkan salah satu karuniaNya. Ya kawan, hari ini adalah hari penobatan kelulusanku.

            Telepon genggamku tiba-tiba bergetar dan aku mengangkat telepon yang sedari tadi ternyata sudah empat panggilan masuk tanpa aku sadari. “Dimas lagi dimana? Ini bisnya di depan Unpad,” aku mendengar suara ayahku yang senyap-senyap dikalahkan oleh bisingnya keramaian prosesi pagi ini. “Ini lagi di depan ruangan prosesinya,” jawab aku. Belum sempat aku bertanya mereka lagi dimana, tiba – tiba suara hilang. “duh kenapa mati disaat penting kayak gini,” kesalku sambil mencoba menyalakan telepon genggamku yang tiba-tiba mati. “oh iya, kok mereka naik bis? Kenapa gak bawa mobil aja,” batinku. Tidak terasa prosesi akan segera dimulai. Panitia wisuda seperti tidak ada lelahnya mengajak para peserta masuk ke dalam ruangan untuk memulai prosesi. Layaknya induk ayam yang bertemu dengan anak-anaknya, para peserta wisuda seperti asyik sendiri bercengkrama dengan keluarga mereka tanpa memperdulikan panggilan panitia. Akan tetapi, hanya aku yang sedari tadi seperti anak ayam kehilangan induk. Berkali-kali aku mengalihkan setiap pandangan, namun belum menemukan keluargaku. Belum selesai mencari, panggilan panitia semakin tegas untuk meminta peserta memasuki ruangan. Aku pun mau tidak mau harus masuk juga tanpa berbincang-bincang atau hanya sekadar bertatap muka dengan keluarga yang aku sayangi.

            Prosesi dimulai berjalan dengan lancar disertai dengan tepuk tangan yang riuh bersautan. Satu per satu peserta dipanggil untuk naik ke podium untuk menerima sebuah map yang menjadi idaman setiap mahasiswa sarjana. Lalu acara dilanjutkan dengan persembahan vokal yang merdu dari paduan suara mahasiswa. Tidak ketinggalan beberapa perwakilan peserta juga menyerahkan secara langsung bunga kepada ibu mereka sebagai tanda terima kasih atas pengorbanan yang telah mereka berikan. Lantunan indah dari lirik lagu yang berjudul “Bunda” bersenandung mengisi sudut-sudut ruangan. Suasana haru mengisi atmosfer di ruangan ini. Isak tangis berderai tak tertahankan sebagai tanda syukur atas kelulusan kami dan rasa terima kasih kami atas dukungan yang telah diberikan orang tua kami.

            Lapangan parkir tampak penuh setelah prosesi ditutup. Akan tetapi, bukan dipenuhi oleh kendaraan melainkan dipenuhi dengan para peserta prosesi dan keluarga mereka yang tampak asyik saling bercengkrama satu sama lain. Dari kejauhan akhirnya aku melihat keluargaku yang sedang bercanda tawa dengan sekolompok orang yang aku tahu merupakan teman kerja ayahku. “ternyata bawa teman-teman kantornya juga, pantesan naik bis,” aku tersenyum. Selang beberapa menit aku menatap mereka. aku melihat dari kejauhan hanya ayahku yang sudah menyadari keberadaanku. Beliau mengalihkan perhatiannya dan menatap dari jauh anaknya yang sedari tadi mencarinya. Aku melihat senyuman yang hangat terpancar dari raut mukanya. Kami masih saja menatap satu sama lain dari kejauhan. Untaian kata yang tidak terucap, namun bisa kurasakan bergema di relung hatiku
“selamat ya Dimas, semoga menjadi dokter yang baik. Maaf kalo kita gak bisa berbincang satu sama lain. Suatu saat nanti, di lain kesempatan mungkin kita akan bertemu lagi. Saling bertukar cerita dengan kamu, mama, dan juga adik kamu.”

Aku terbangun...
Mencoba menafsirkan apa yang baru saja aku alami...
Ternyata hanya mimpi...
Allah...

            Klise-klise masa lalu seperti membanjiri ingatanku. Aku tersenyum dalam isak tangis. Air mata penuh rindu dan juga sedih yang tidak tertahankan menetes perlahan. Tersadar sudah 4 tahun aku tidak bertemu dengannya setelah beliau benar-benar tertidur sebelum sempat aku untuk sekadar mengatakan, “aku diterima di kedokteran Unpad, aku akan jadi dokter.” Aku sangat menyayangi ayahku, seseorang yang jarang sekali menampakkan wajah lelah di depan anaknya. Seseorang yang tidak pernah sedikitpun menyerah atas impianku untuk menjadi dokter. Bukan hanya impianku, melainkan impian kami. Namun, takdir berkata lain. Tepat seminggu sebelum aku menjalani SNMPTN Sang Kuasa memanggilnya.

Jam tangan menunjukkan pukul 02:30. Aku bergegas untuk mengambil wudhu...
“Aku akan memberikan kado untuknya malam ini,” benakku sambil tersenyum..


Teringat masa kecilku
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung
Disisimu terngiang
Hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi
Serta harapanmu

Kau ingin ku menjadi
Yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu
Jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku
Terbelenggu jatuh dan terinjak

Reff :
Tuhan tolonglah sampaikan
Sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji
Tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya
Ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

Andaikan detik itu
Kan bergulir kembali
Kurindukan suasana
Basuh jiwaku
Membahagiakan aku
Yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu
Yang pernah terlewati

Ada Band: Yang Terbaik Bagimu
            

2 comments:

Unknown said...

he never left us :')

Unknown said...

Insya Allah kelak akan dipertemukan kembali di surga-Nya ya kak dimas.. semangat^^

Post a Comment