Bandung, 28 Januari 2014
Pukul 05.19 WIB
Pernahkah kita
memikirkan ada suatu waktu dimana kita ingin dilihat lebih keren dalam hal
apapun. Termasuk bagaimana cara kita mengkritisi perpolitikan atau pemerintahan
di indonesia dengan cara menilai tokoh-tokoh politik atau bisa juga dengan
melihat bagaimana jalannya proses pemerintahan di indonesia. Atau pernahkah
terpikirkan seberapa bodohnya diri kita yang sebenarnya tidak tahu mengenai hal
tertentu terkait dengan fakta-fakta yang ada tetapi kita bumbui dengan “cara
berpikir logis” sedikit sehingga hal tersebut menjadi sesuatu yang lumrah
terjadi di lapangan.
“Secara logika ada gula ada semut, tetapi bisa juga kan fakta yang
terjadi tumpahan gula tersebut pada waktu tertentu malah dikerubungi lebah atau
hewan lainnya?”
Ada
hal yang saya takutkan kawan ketika kita menjadi seorang mahasiswa yang
“katanya” memiliki intelektualitas yang tinggi. Saya takut ketika kita menilai
hal-hal yang terjadi di lapangan khususnya pemerintahan atau politik tidak
sesuai dengan fakta yang ada atau apa yang kita nilai tidak berdasarkan
pengetahuan yang mendalam tentang tema tersebut. Contoh misalnya Pak Jokowi
yang selama ini terkenal dengan pencitraannya yang bagus di media. Ketika
banjir di Jakarta sedang melanda teman saya bilang, “tuh lihat jokowi cuman
baik di pencitraan dengan gayanya yang menyentuh masyarakat menengah kebawah
agar mendapat suara pemilu, Ridwan Kamil yang bagus aja malah gak disorot.”
Dari kalimat tersebut ada yang saya ingin tanyakan sebenarnya ke orang yang
membuat statement itu, apakah dia ketika melihat Pak Jokowi di TV sudah
ditanyakan langsung ke beliau, misalnya, “pak, bapak lagi pencitraan biar dapat
suara pemilu, apa bener bener lagi mau bantu orang pak?” Kebayang kan kalo
misalnya ternyata orang yang membuat statement tersebut menyuarakan pemikirannya
ke orang lain? Tidak masalah dengan statementnya, karena saya pun juga tidak
tahu kebenarannya seperti apa. Akan tetapi, alangkah indahnya bukan jika kita
menjadi pribadi yang senantiasa berhusnudzan (berprasangka baik). Secara
“logika” bisa saja statement itu terjadi, tetapi jika fakta yang terjadi belum
jelas tidak perlu diumbar-umbarkan bukan? Kalo misalnya apa yang kita pikirkan
secara logika tidak sesuai dengan fakta dan justru kita umbar-umbarkan,
bukannya justru menjadi fitnah?
Dari
contoh di atas saya menilai bahwa jangan sampai kemampuan cara berpikir logis
kita membuat kita berprasangka yang tidak-tidak. Fenomena krisis kepercayaan
terhadap pemerintah bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus
memperbaiki citra, tetapi seyogyanya perbaiki diri sendiri terlebih dahulu
untuk menjadi pribadi yang suka berprasangka baik. Urusan niat pemimpin kita
ketika bekerja apakah baik atau tidak menjadi urusan Allah bukan? Yang mengetahui
isi hati setiap hambanya ^_^
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing
sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada
Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang” (QS Al-Hujarat:12)
No comments:
Post a Comment