Wednesday 15 January 2014

Terima Kasih Jatinangor


Jatinangor, 15 Januari 2014
Pukul 05:32

Aku terbangun dalam tidur lelapku. Kudapati cahaya menyibak diantara sela-sela jendela. “Haduh, lagi-lagi ketiduran setelah solat subuh,”batinku. Hujan masih saja mengguyuri beberapa bagian kota ini. Alunan rintik gemercik yang membentur genting rumah-rumah seakan memberikan simfoni nada tersendiri pada pagi yang sangat dingin di kota ini.

Bangun....
Menatap keluar...

“Sudah sedikit berubah ya,” aku tersenyum lagi. Tidak terasa memang kehidupan ini berjalan dengan cepatnya. Sebuah saksi bisu dari sebuah kota yang sedikit demi sedikit menarik hatiku untuk tetap tinggal  Kota yang meninggalkan sejuta kenangan terhadap seorang anak rantau yang awalnya tidak tahu apa-apa, sekarang sudah setengah jalan untuk mengejar impian profesinya.

Memejamkan mata...
Menghirup nafas dalam-dalam...

Keindahanmu, melukiskan sejuta guratan warna dibenakku. Beratus ornamen-ornamen kehidupan yang ada di kota ini mulai dari keindahan alam, kebaikan masyarakat kota ini yang menjunjung toleransi, dan atmosfer ketenangan yang membantuku dalam proses belajar, menjadikan arsip memori yang tersimpan rapi secara khusus di bagian korteks otakku.
Namun, sebentar lagi aku akan berpisah dengan kota ini. Hati kecilku membisikanku untuk tetap tinggal, tapi apa daya karena aku harus melanjutkan studiku. Sesungguhnya tak terpikirkan olehku untuk tinggal di Bandung. Kota yang padat, berpolusi, dan geng motor, tiga faktor yang membuatku semakin tak berminat untuk tinggal disana.

Tersenyum...
Teringat akan sebuah janji...

Tahukah kawan? Aku pernah berjanji ketika aku jadi dokter nanti ingin menemui mereka. Mereka yang membantu kelancaran proses pengerjaan skripsiku, para kader posyandu yang mencurahkan segala keikhlasannya untuk membantu seorang anak yang mungkin merepotkan mereka. Mereka mengajarkan aku tentang kehidupan masyarakat Jatinangor yang sesungguhnya. Mereka menceritakan banyak kisah akan perjuangan dan dinamika yang menjadi roda perputaran kehidupan masyarakat Jatinangor. Aku masih ingat ketika selesai kegiatan posyandu di desa cipacing pada jamuan makan siang yang disiapkan oleh ibu kader.
“Dimas ternyata orang jawa toh, yah abis jadi dokter gak balik ke jatinangor dong,” kata seorang ibu kader.
“Niatnya memang saya mau mengabdi di tempat kelahiran saya bu. Akan tetapi, sempat terpikirkan oleh saya, setelah sumpah dokter mau memberikan edukasi tentang deteksi dini balita pendek di Jatinangor bu, kebetulan kan skripsi saya tentang itu,” kataku sambil tersenyum.
“Wah bagus tuh Dimas, bener ya nanti kesini lagi, nanti kita makan-makan kayak gini lagi. Sok lah jadi dokter cepet-cepet,” Ibu bidan tertarik ke pembicaraan.
“Siap bu, insyaAllah saya akan makan banyak, masakannya enak bu,” seisi ruangan tertawa.
“Kalo bisa pas balik ke Jatinangor ibu kenalin juga ke anak ibu,” ledek ibu bidan.
Seisi ruangan tertawa lagi. Aku hanya bisa tertunduk malu sambil tersenyum. “Baiknya ibu-ibu disini, terima kasih ya bu udah bantu banyak,” kataku dalam hati

Jatinangor, semoga kamu masih sanggup memberikan kesejukkan kepada mahasiswa-mahasiswa di sini ya untuk sekian tahun kedepan. Aku berterima kasih sekali karena Allah telah mengenalkan kota ini dalam kehidupanku. “ Oh iya, Harus siap-siap nih, nanti mau ke RSHS buat ngumpulin jurnal,” batinku. Keasyikan merenung membuatku tidak menyadari jika waktu sudah menunjukkan pukul 06:41 WIB. Mungkin terlalu cepat, tapi aku hanya ingin bilang, “Aku menyukai kota ini layaknya aku menyukai suasana rumahku sendiri ^_^”

Terima kasih Jatinangor.....

1 comment:

Anonymous said...

cie dimas yang udah ditunggu sama anak ibu kader. btw bagus dim tulisannya, melow2 gmna gitu

Post a Comment